Misa Imlek: bolehkah? (YANG NGEYEL BERARTI HOBI BUANG2 DUIT UMAT)

Wawancara Bapa Uskup Surabaya yang dimuat di Jawa Pos dua tahun lalu (Minggu, 14 Februari 2010), bagian Metropolis, hal. 30 semoga mengingatkan Anda terhadap tarik ulur misa imlek di berbagai keuskupan.


Monsinyur yang larang misa imlek


“BUKAN salah bunda mengandung, tapi salah bapak nggak pakai sarung,” celetuk Uskup Surabaya Monsigneur (baca: monsinyur-Mgr) Vincentius Sutikno Wisaksono tentang ke-Tionghoa-annya. Dia lantas tertawa kencang. Ya, pemimpin gereja Katolik yang meliputi 15 kota di Jatim plus dua kabupaten di Jateng itu memang berdarah Tionghoa. Tapi, sejak kecil dia tak menerapkan tradisi leluhurnya secara sakelijk (baca: saklek). Bahkan, saat ditemui di kantor Keuskupan Surabaya, Jalan Polisi Istimewa, Monsinyur Tik berterus terang bahwa dia kurang antusias berbincang soal Imlek yang jatuh hari ini. Kegairahan tahun baru Tionghoa itu memang tak meletup-letup dalam diri Sutikno. Sejak umur lima tahun, dia mengaku tak lagi disentuhkan dengan tradisi Tionghoa. “Masiyo Tionghoa aku blas nggak iso ngomonge. Nggak tahu diuruki. (Meskipun orang Tionghoa saya tidak bisa berbahasa Tionghoa. Tidak pernah diajari),” katanya. Dia lantas tertawa lagi. Di samping itu, Sutikno juga menganggap bahwa dia sudah nggak cocok jadi Tionghoa. “Kulitku nggak putih, mripatku yo nggak sipit-sipit banget (kulit saya tidak putih, mata saya juga tidak sipit, Red),” imbuhnya sambil menarik kelopak mata dengan telunjuknya agar terlibat lebih sipit. Suktikno lalu mengambil secarik kertas. Dia lalu menuliskan: Oei Tik Haw. “Ini nama Tionghoa saya. Sekarang jadi Sutikno Wisaksono,” kata arek Suroboyo asli yang terkenal sangat ceplas-ceplos itu. Sutikno lalu menuliskan nama kedua orang tuanya. Yakni Oei Tik Tjia, ayahnya dan Kwa Siok Nio, ibunya. Meski benar-benar berasal kalangan Tionghoa, Sutikno mengaku tidak berperan banyak untuk kebudayaan Tionghoa. Bahkan dengan ketegasannya sebagai Uskup, pemangku gereja, Sutikno menegaskan peraturan yang dia sadari bisa memancing cibiran umat dari kalangan Tionghoa. Yakni, membebaskan liturgi (tata perayaan) Katolik dari pernik-pernik Imlek. Memang, sejak Sutikno ditahbiskan menjadi Uskup Surabaya pada 29 Juni 2007, tidak ada lagi gereja-gereja Katolik di bawah Keuskupan Surabaya yang berani memasang pernik-pernik khas Imlek. Tentu saja sudah tidak ada lagi misa Imlek. “Sudah saya larang keras. Sekarang sudah bersih,” katanya. Pria 56 tahun itu lalu menceritakan, sebelum dia menjabat Uskup, ada beberapa gereja Katolik yang terang-terangan mengadakan misa Imlek. Perayaannya pun terkesan megah. Misalnya ada tarian-tarian barongsai, kolekte (persembahan, Red) pun dengan barang-barang wah. Selain itu, bagi-bagi angpau juga dilakukan di dalam gereja. “Masak waktu misa ada tari-tariannya. Sing siao se sa saui,” katanya menirukan logat Tionghoa awur-awuran. Sutikno lalu berdiri, tangannya digerak-gerakkan mencoba menirukan gerakan tarian Barongsai. “Kan nggak ada hubungannya dengan Ekaristi (misa). Nek kecekluk piye,” imbuhya lalu tertawa kencang. Dia lalu menyempatkan masuk ke ruangannya untuk mengambil buku. Buku hijau itu berjudul Redemtionis Sacramentum yang berarti Sakramen Penebusan. Mengenakan kacamata bacanya, Sutikno meneliti daftar isi. “Mmmm mana ya,” gerutunya sambil memicingkan mata. “Nah ini dia halaman 44,” ucapnya. Setelah menemukannya dia lalu membacakan isi buku. “Tidak diizinkan mengaitkan misa dengan peristiwa-peristiwa profan atau duniawi atau mengaitkan dengan situasi-situasi yang tidak dengan sepenuhnya sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Juga perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut upacara-upacara lain,” tuturnya. “Nah sudah jelas kan?” imbuhnya. Sutikno menerangkan bahwa pelarangan misa Imlek bukanlah tanpa dasar. Tapi itu sudah diatur dalam peraturan Gereja Katolik. Aturan itu dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen pada Hari Raya Kabar Sukacita kepada Santa Perawan Maria pada 25 Maret 2004. Sebenarnya, Sutikno bukan anti kebudayan Tionghoa. Dia sangat menghargai dan mendukung perayaan Imlek oleh orang yang merayakan. Tapi itu tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan Gereja Katolik. Dia mempersilakan umatnya untuk merayakan Imlek di luar gereja.. Tak hanya urusan peribadatan saja yang pernah membuat Sutikno menuai cibiran. Berkaitan statusnya yang Tionghoa, Sutikno dicap sebagai Uskup yang pelit dan sangat perhitungan dalam hal keuangan. “Oh pantes lha wong Uskupe Tionghoa,” ucap Sutikno menirukan beberapa pihak yang menggerutu. Menurutnya, saat kursi Uskup Surabaya kosong beberapa tahun lalu, laporan keuangan gereja-gereja Keuskupan Surabaya sangat amburadul. Bahkan beberapa gereja tidak pernah melaporkan keuangannya ke keuskupan. “Padahal itu kan uang umat yang harus dipertanggungjawabkan,” katanya. “Katanya saya mata duiten lah, mau cari untung lah. Tapi cuek saja. Yang penting saya benar. Ini untuk dipertanggungjawabkan ke umat,” kata Uskup yang ditahbiskan menjadi imam pada 21 Januari 1982 itu. “Mungkin ini untungnya punya uskup Tionghoa. Teliti masalah keuangan,” imbuhnya. Kembali, tawanya meledak. Sutikno menceritakan sejak kecil, dirinya tidak pernah dicekoki kedua orang tuanya tentang kebudayaan Tionghoa. Sebab, kata Sutikno, meski keturunan Tionghoa asli, latar pendidikan kedua orang tuanya lebih mengarah ke budaya Belanda. Ayahnya yang bernama Indonesia Widiatmo Wisaksono dulu bersekolah di sebuah SMK milik Belanda yang terletak di kawasan Pasar Turi. Bahkan kedua orang tuanya lebih kuat menanamkan kebudayaan Indonesia kepada Sutikno. “Kita ini orang Indonesia yang hidup dari Indonesia dan harus berbuat banyak untuk negara Indonesia,” tutur Sutikno menirukan wejangan ayahnya. Menurutnya Tionghoa, Jawa, Betawi dan ras lainnya hanyalah sebuah kebetulan yang sudah ditentukan oleh Tuhan. “Tapi pada hakikatnya kita adalah manusia yang sama di mata Tuhan,” terangnya. “Jadi saya menjadi Tionghoa bukan karena salah bunda mengandung, tapi salah bapak nggak pakai sarung,” selorohnya. Uskup itu lantas cekikikan. (kuh/dos) Sumber: www.katolisitas.org

0 komentar:

Posting Komentar

 
Isi Copas Sana-sini | Contact Cekidot hehe